Beranda | Artikel
Dalil Pendapat Yang Mengatakan Wajibnya Shalat Di Masjid
Sabtu, 11 April 2020

DALIL PENDAPAT YANG MENGATAKAN WAJIBNYA SHALAT DI MASJID

Pertanyaan.
Apa saja dalil yang digunakan orang yang berpendapat bahwa shalat di masjid tidak wajib? Sebaliknya, apa saja dalil yang digunakan orang yang berpendapat bahwa shalat di masjid adalah wajib?

Jawaban
Alhamdulillah

Pertama
Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat mengenai hukum shalat jamaah di masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalat jamaah di masjid adalah wajib. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa shalat jamaah di masji6d tidak wajib. Shalat jamaah yang dilakukan di rumah hukumnya tetap sah dan bukan merupakan dosa.

Berdasarkan riwayat yang paling shahih, al-Mardawi berkata, “Boleh saja shalat jamaah di rumah.” Namun dalam riwayat lain, al-Mardawi berkata, “Shalat jamaah di rumah tidak bole”[1]

Pendapat pertama itulah yang menjadi pilihan di dalam situs kita ini. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih Syaikhul Islam dan muridnya, Ibnul Qayyim, Syaikh as-Sa’dawi, Ibn Baz, dan Ibn Utsaimin rahimahumullah.

Kedua.
Ulama yang berpendapat wajibnya shalat jamaah di masjid mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil berikut:

Dalil pertama,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, –

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ

Demi Zat yang menggenggam jiwaku! Aku sempat ingin menyuruh [orang-orang] mengumpulkan kayu bakar untuk dinyalakan, kemudian menyuruh shalat dengan [menyuruh seseorang mengumandangkan] adzan, kemudian menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat, kemudian mendatangi orang-orang [yang tidak menghadiri shalat berjamaah] dan membakar rumah mereka. Demi Zat yang menggenggam jiwaku! Jika salah seorang di antara mereka mengetahui bahwa ia akan mendapati tulang berlemak atau kaki kambing yang lezat, tentu ia akan menghadiri shalat Isya.[2]

Kesimpulan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membakar rumah orang yang tidak mau pergi ke masjid untuk shalat jamaah. Beliau tidak memberi uraian apakah mereka (yang tidak shalat berjamaah di masjid ini) shalat di rumah secara berjamaah atau tidak.

Dalil kedua,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan:

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ : إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ ، فَرَخَّصَ لَهُ ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ ، فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ ، قَالَ نَعَمْ . قَالَ فَأَجِبْ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki buta. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulllah, aku tidak memiliki penuntun jalan yang menuntunku ke masjid.” Laki-laki itu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan untuk shalat di rumah. Rasulullah pun memberinya keringanan. Namun ketika laki-laki itu hendak berlalu, beliau memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu mendengar azan?” Ia menjawab, “Ya.” Raulullah berkata, “Jawablah![3]

Kesimpulan: Seandainya shalat jamaah boleh dilakukan di mana saja, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi izin kepada lelaki buta itu untuk shalat di rumahnya secara berjamaah bersama keluarganya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika dihadapkan pada dua hal, pasti memilih yang paling ringan selama itu bukan dosa.

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: orang yang buta saja tidak diberi keringanan, apalagi yang tidak buta. Demikian.[4]

Dalil ketiga,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ ، فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى ، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ ، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ ) رواه مسلم (654).

Siapa yang senang bertemu Allah besok dalam keadaan muslim maka jagalah shalat di tempat asal panggilannya. Karena Allah telah mensyariatkan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam sunah-sunah hidayah. Dan itu (shalat jamaah di masjid) termasuk dari sunah-sunah hidayah. Jika kalian shalat di rumah kalian, seperti pembangkang yang shalat di rumahnya ini, maka itu artinya kalian telah meninggalkan sunah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunah Nabi kalian, niscaya kalian sesat. Aku sudah melihat kita semua. Tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat kecuali munafik yang jelas kemunafikannya. Sampai-sampai orang yang lemah harus dipapah dua orang laki-laki untuk berbaris di dalam shaf.”[5]

Dalam redaksi lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim (654) disebutkan: Ia (Abdullah bin Mas’ud) berkata.

وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى ، وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ

“Rasulullah mengajarkan kami sunah-sunah hidayah. Di antara sunah hidayah tersebut adalah shalat [berjamaah] di masjid tempat panggilan shalat itu berasal.”

Kesimpulan: Abdullah bin Mas’ud menjadikan orang yang tidak berjamaah di masjid sebagai salah satu ciri orang munafik.

Dalil keempat,
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Siapa yang mendengar panggilan [azan] lalu tidak mendatanginya (datang ke masjid untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan.” [6]

Sedangkan ulama yang memilih pendapat kedua, yakni pendapat yang mengatakan shalat jamaah tidak wajib di masjid, mendasarkan pendapatnya pada dalil-dalil berikut:

Dalil pertama,
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. Ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

Dan bumi dijadikan sebagai tempat sujud (masjid) yang suci untukku.”[7]

Mereka berkata: ini menunjukkan bahwa di tempat manapun seorang hamba shalat, baik itu di masjid maupun di tempat lain, maka shalatnya diterima.

Dalil kedua,
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Ia menuturkan:

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ ، وَهُوَ شَاكٍ فَصَلَّى جَالِسًا ، وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumahnya. [Saat itu] beliau dalam keaadaan sakit sehingga beliaupun shalat dengan duduk. Sedangkan orang-orang yang shalat di belakang beliau tetap shalat dalam keadaan berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk[8].

Kesimpulan: Jika shalat jamaah wajib di masjid, tentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengizinkan mereka shalat di belakang beliau [yang saat itu shalat] di rumah beliau. Atau, tentu, beliau akan memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka di masjid.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Termasuk dalam hal ini (bolehnya shalat jamaah di tempat selain masjid), orang yang sakit shalat bersama orang yang menjenguknya secara berjamaah, agar mereka mendapat keutamaan shalat berjamaah. Ini juga merupakan dalil bahwa menghadiri shalat jamaah di masjid adalah tidak wajib bagi orang yang sakit. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ahmad. Ia tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka di masjid, tapi membiarkan mereka dengan shalat mereka yang dilakukan secara berjamaah bersamanya di rumahnya”[9].

Dalil ketiga,
Diriwayatkan dari ‘Ataban bin Malik al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan:

 كُنْتُ أُصَلِّي لِقَوْمِي بَنِي سَالِمٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْتُ : إِنِّي أَنْكَرْتُ بَصَرِي ، وَإِنَّ السُّيُولَ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَسْجِدِ قَوْمِي ، فَلَوَدِدْتُ أَنَّكَ جِئْتَ فَصَلَّيْتَ فِي بَيْتِي مَكَانًا حَتَّى أَتَّخِذَهُ مَسْجِدًا ، فَقَالَ : ( أَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ) ” . رواه البخاري (840) 

Aku adalah imam shalat kaumku, Bani Salim. Lalu aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, dan berkata, “Penglihatanku sudah kabur. Aliran air [yang meluap akibat hujan] juga menghalangiku dari masjid kaumku. Aku ingin sekali engkau mendatangi kaumku lalu shalat di rumahku sebagai tempat yang nantinya akan aku jadikan masjid.” Beliau menjawab, “Akan aku lakukan, insya Allah.”[10]

Dalil keempat,
Diriwayatkan dari Yazin bin al-Aswad Radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan:

شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ فَصَلَّيْتُ مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ ، قَالَ : فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَانْحَرَفَ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي أُخْرَى الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ ، فَقَالَ : ( عَلَيَّ بِهِمَا فَجِيءَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا ، فَقَالَ : مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا ) ، فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ : إِنَّا كُنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا ، قَالَ : ( فَلَا تَفْعَلَا ، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ  رواه الترمذي (219) ، وصححه الشيخ الألباني رحمه الله في ” سنن الترمذي

Aku ikut haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku shalat subuh bersamanya di Masjid Khaif. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya dan menoleh [ke arah jamaah], beliau mendapati dua laki-laki dalam rombongan yang tidak shalat berjamaah bersama beliau. Maka beliau berkata, “Panggil kedua orang itu!” Maka keduanya dihadapkan. Beliau lantas berkata, “Apa yang membuat kalian tidak shalat bersama kita?” Keduanya berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah shalat [berjamaah] di kendaraan kami.” Beliau berkata, “Jangan lakukan! Jika kalian sudah shalat di kendaraan kalian, kemudian kalian datang ke masjid yang sedang melaksanakan shalat jamaah maka shalatlah kalian bersama mereka. Karena itu adalah sunah bagi kalian[11]

Kesimpulan: Kedua laki-laki itu meninggalkan shalat jamaah di masjid karena telah melakukan shalat jamaah di kendaraan. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak keberatan dengan hal itu.

Wallahu a’lam.
Disalin dari islamqa
_______
Footnote
[1] Demikian. Dinukil dari “al-Inshaf” (2/214).
[2] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (644).
[3] Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (653).
[4] Dikutip dari “al-Ausath” (4/134)
[5] Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (654). Maksud dari “tempat asal panggilannya” adalah masjid.
[6] Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (793), dan dinyatakan shahih oleh al-Albani rahimahullah di dalam “Shahih Ibni Majah”. Lihat soal-jawab nomor 120, 8918 dan 40113.
[7] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (335).
[8] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (688).
[9] Demikian. Dinukil dari “Fath al-Bari li Ibn Rajab” (2/241)
[10] Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (840).
[11] Hadis ini diriwayatkan oleh at-Turmudzi (219), dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam “Sunan at-Turmudzi”


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15024-dalil-pendapat-yang-mengatakan-wajibnya-shalat-di-masjid.html